vesoe.blogspot.com - Sudah dilihat kali.
Oleh : Qomar ZA, Lc
Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dgn berbagai bahasa, sehingga sempat mewarnai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara.
Ikhwanul Muslimin, gerakan ni tak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adlh dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yg kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya.Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.
KelahirannyaHasan Al-Banna dilahirkan pd tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yg masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yg cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adlh Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yg lebih dikenal dgn As-Sa’ati.
PendidikannyaIa mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dgn menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seorang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dgn sifat-sifat gurunya yg mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ni adlh awal perkenalannya dgn gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yg dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya.
Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dgn organisasi Man’ul Muharramat.Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dgn tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dgn majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yg didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yg ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dgn tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti:
...Dan kami pergi bersama-sama di tiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dgn suara yg nyaring, membuat orang melihat kami, ujar Mahmud Abdul Halim dlm bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)
Di antara aktivitas selama bergabung dgn tarekat ni ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untk mengingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yg masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.
Al-Banna terus bergabung dgn tarekat tersebut sampai pd akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: ...(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yg berbai’at. Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan:
Dan saya berteman dgn saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah tiap malam... Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yg memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ni darinya. Ia jg memberi saya wirid dan amalan tarekat itu.
Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ni mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yg diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan:
Di saat-saat ini, nampak pd kami untk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya... Lalu dlm perjuangan ini, aku menggantikannya dgn organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.
Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia jg banyak membaca majalah Al-Manar yg diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yg banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan / menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dgn buku Ihya‘ Ulumuddin. Tapi bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untk melanjutkan pendidikan.
Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dlm benaknya, ide untk menjalin hubungan dgn orang-orang yg duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pd tahun 1927 M.
Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pd tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dpt berkomunikasi, bergaul dgn semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untk menjauh dari semua kelompok yg ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yg berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.
Pembentukan Gerakan Ikhwanul MusliminPada bulan Dzulqa’dah 1347 H yg bertepatan dgn Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untk Islam dan sama-sama bersumpah untk menjadikan hidup mereka untk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yg ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untk mencalonkan dirinya dlm pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yg waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, tapi Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.
WafatnyaPada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan.
Bersamaan dgn itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dgn ambulans. Tapi karena pendarahan yg hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yg ia dirikan. Pembaca mungkin berbeda-beda dlm menanggapi sejarah tersebut, sesuai dgn sudut pandang yg digunakan. Tapi bila kita melihatnya dgn kacamata syar’i, menimbangnya dgn timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yg suram.
Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yg berlatar belakang aliran shufi Hashafi dgn berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yg diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dgn cara bid’ah sampai pd praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yg terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yg berakidah salafi.
Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dlm menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yg Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam katakan:
تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا
Aku tinggalkan kalian di atas yg putih bersih, malamnya seperti siangnya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dlm Zhilalul Jannah no. 33)
Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.
Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul MusliminSekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yg didirikannya. Tapi itu tak cukup untk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yg didasari oleh komentar Al-Banna sendiri / tokoh-tokoh gerakan ni / simpatisannya.
Pertama : Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah
Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dlm agama:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Semua bid’ah itu sesat. (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
Kata-kata ni senantiasa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ucapkan dlm pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam jg katakan:
لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً
Allah melaknati orang yg melindungi bid’ah. (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)
Yakni ridha terhadapnya dan tak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yg lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri ungkapkan: Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adlh dakwah salafiyyah... tarekat sunniyah... hakekat shufiyyah...dan badan politik... (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122)
Ini menggambarkan usaha untk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ni adlh cara yg batil. Jika memang dakwahnya adlh salafiyyah yg sesungguhnya -dan itulah kebenaran- tak mungkin dipadukan dgn shufiyyah dgn berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yg diimpor dari Barat.
Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: Ratusan ribu manusia telah bergabung dgn kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yg bermacam-macam, paham yg berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yg menyangka bahwa kelompok ni adlh Shufi gaya baru..., demikian ungkap Muhammad Quthub dlm bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).
Bahkan dgn kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dgn usaha Al-Banna untk menyatukan antara Sunnah dgn Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yg beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan:
Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dgn serius untk mendekatkan antar berbagai paham, sehing-ga musuh tak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yg dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dgn Syi’ah, maka ia pun melarang untk masuk dlm permasalahan semacam ini... Kemudian mengatakan:
‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adlh muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dlm hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adlh pd perkara-perkara yg mungkin bisa didekatkan. (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)
Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dlm dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yg menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dgn menganggap mereka mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yg meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah -mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Seandainya hanya ni saja (penyimpangan) yg dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dgn segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.
Kedua : Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`
Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dlm agama kita, Islam.Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tak berteman dan bergaul dgn mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dgn menjauhi mereka. (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123, no. 175)
Tapi prinsip ni menjadi luntur dan benar-benar luntur dlm manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yg menganggap Allah menjadi satu dgn makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi).
Lebih dari itu -dan anda boleh kaget- Al-Banna mengatakan: Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dgn Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untk bersahabat dgn mereka. Dan Islam adlh syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita dgn mereka... dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya.... (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)
Apa yg pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yg lain? (Al-Baqarah: 85)
Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yg membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tak mau beriman kepada Nabi Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apakah ni semua tak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dgn Yahudi dlm pandangannya?
Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adlh Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: Saya tumbuh di sebuah lingkungan yg berkorban untk Islam. Madrasah ini, yg memimpinnya adlh seorang yg mempunyai ciri khas keseimbangan dlm pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ni sendiri adlh umat dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dgn semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adlh orang-orang Qibthi -yakni suku bangsa di Mesir yg beragama Nashrani- dan ia masukkan mereka ke dlm departemen politiknya... (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yg di luar kalanganmu, (karena) mereka tak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yg menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yg disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Ali ‘Imran: 118)
Ketiga : Tidak Perhatian terhadap Aqidah
Pembaca, aqidah adlh hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yg berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adlh segala-galanya, tak bisa main-main, tak bisa coba-coba. Tapi tak demikian adanya dgn kelompok yg kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yg tak beraqidah salaf dlm mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dgn ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)... Semua itu dgn makna yg tak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya... (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)
Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adlh salah satu dari tiga unsur penting dlm ilmu-ilmu tentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Intinya adlh mengimani nama-nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah k sebutkan dlm Al-Qur`an / Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebutkan dlm hadits yg shahih.
Aqidah Ahlussunnah dlm hal ni tergambar dlm jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi , ketika ditanya oleh seseorang: Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu? Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tak diketahui. Iman dengannya adlh wajib. Dan bertanya tentang itu adlh bid’ah!
Ucapan Al-Imam Malik ni minimalnya mengandung empat hal:
1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yg lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dgn bahasa Arab yg bisa dimengerti.
2. Tapi caranya tak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah k tak memberi-tahukan perincian tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yg lain.
3. Iman dengannya adlh wajib: karena Allah memberitakannya dlm Al-Qur`an dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan dlm haditsnya yg shahih.
4. Dan bertanya tentang itu adlh bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adlh bid’ah, tak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena Allah k tak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dgn ahli bid’ah yg melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, / bertanya untk mencari tahu dgn pertanyaan: Bagaimana?
Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: ...Semua itu dgn makna yg tak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya, adlh ucapan yg menyelisihi kebenaran. Dan ni tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ni adlh manhaj Ahluttafwidh / Al-Mufawwidhah, yg menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yg tak diketahui maknanya.
Madzhab ni sangat berbahaya, yg konsekuensinya adlh menganggap Nabi n dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tak mengetahui makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah t mengatakan bahwa: Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah. (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)
Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192). Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: Dan berdoa apabila diiringi dgn tawassul kepada Allah k dgn perantara seseorang dari makhluk-Nya, adlh perbedaan pendapat yg sifatnya furu’ (cabang) dlm hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah. (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pd dua edisi sebelumnya dlm Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untk menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dgn aqidah. Di antara tawassul itu ada yg sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yg bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.
Keempat : Menganggap Sepele Bid’ah dlm Agama
Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yg Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam katakan:
شَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا
Sejelek-jelek perkara adlh perkara yg diada-adakan. (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)Oleh karenanya, Nabi n berpesan:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ...
Dan jauhi oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dlm agama) karena semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan di neraka. (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Tapi berbeda keadaannya dgn gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dlm sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dgn satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dgn penegasannya:
Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pd ibadah-ibadah yg bersifat mutlak adlh perbedaan fiqih, yg masing-masing punya pendapat dlm masalah itu... (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dgn wasiat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yg sangat populer: Kita saling membantu pd perkara yg kita sepakati, dan saling mamaklumi pd apa yg kita perselisihkan. Pada prakteknya, mereka saling memaklumi dgn Syi’ah, Shufi yg ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yg belum sederajat dgn mereka.
Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adlh sebuah amalan yg pd asalnya disyariatkan, tapi dlm pelaksanaannya ditambah-tambah dgn sesuatu yg bid’ah.
Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yg mutlak, artinya tak terkait dgn waktu, jumlah, tata cara, / tempat tertentu. Tetapi dlm pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dgn tata cara tertentu dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dgn ucapan La ilaha Illallah, dlm sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yg membatasi dgn jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.
Bid’ah tarkiyyah, adlh meninggalkan sesuatu yg Allah halalkan / mubahkan dgn niat ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dgn itu. Contohnya adlh orang yg tak mau menikah dgn tujuan semacam itu, seperti yg dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yg mencontoh mereka. (lihat Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)
Kelima : Bai’at Bid’ah
Bai’at adlh sebuah ibadah. Layaknya ibadah yg lain, tak bisa dibenarkan kecuali dgn dua syarat: ikhlas dan sesuai dgn ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, / penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair -seorang tabi’in-: Sesuatu yg tak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yg ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama. (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165).
Al-Imam Malik mengatakan: Sesuatu yg di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ni jg bukan sebagai agama. (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: Bai’at tak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yg ada ni adlh bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yg berada di satu negara / satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untk satu pimpinan... (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.
Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: Wahai saudara-saudara yg jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya. (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268)
Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Tapi cukup untk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ni berdiri di atas asas bai’at yg salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yg dimaksud ketaatan pd point keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: ...Dan pd periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dlm periode ni adlh keshufian yg murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ni adlh ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan. (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)
Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yg memandikan. Sedangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam saja, dlm bai’at yg sah mensyaratkan ketaatan dgn dua syarat:
1. Pada perkara yg sesuai syariat.2. Sebatas kemampuan.
(lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)
Tahukah pula anda, apa yg dimaksud dgn paham pd point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini: Hanyalah yg saya maukan dgn ‘paham’ ini, adlh engkau harus yakin bahwa pemikiran kami adlh Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dlm batas 20 prinsip yg kami ringkas seringkas-ringkasnya. (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
Pembaca, haruskah seseorang berbai’at untk membenarkan pemikiran Al-Banna yg sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pd 20 prinsip yg ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?
Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dgn bai’at tersebut, salah satunya adalah: Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yg membuat susah tidur. (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), tapi dia tak menyinggung masalah pembenahan aqidah.
Pembaca yg saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yg ia dirikan. Sekaligus anda dpt mengetahui betapa jauhnya gerakan ni dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yg digariskan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya.
Lebih-lebih, gerakan ni juga, tak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yg lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yg dianggap merugikan dgn cara yg tak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dlm menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dgn yakin salah satu di antara mereka mengatakan: Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana. (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)
Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dlm bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul: Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adlh syahid, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau jg menyebutkan hadits dlm bab lain: ...Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dpt bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami merawatnya.
Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib ('Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’
Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tak tahu.’ Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ni adlh utusan Allah, aku tak tahu apa yg akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’. (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran....
Sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=303 http://facebook.com/photo.php?fbid=3383241273440
Oleh : Qomar ZA, Lc
Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dgn berbagai bahasa, sehingga sempat mewarnai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara.
Ikhwanul Muslimin, gerakan ni tak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adlh dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yg kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya.Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.
KelahirannyaHasan Al-Banna dilahirkan pd tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yg masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yg cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adlh Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yg lebih dikenal dgn As-Sa’ati.
PendidikannyaIa mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dgn menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seorang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dgn sifat-sifat gurunya yg mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ni adlh awal perkenalannya dgn gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yg dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya.
Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dgn organisasi Man’ul Muharramat.Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dgn tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dgn majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yg didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yg ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dgn tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti:
...Dan kami pergi bersama-sama di tiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dgn suara yg nyaring, membuat orang melihat kami, ujar Mahmud Abdul Halim dlm bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)
Di antara aktivitas selama bergabung dgn tarekat ni ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untk mengingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yg masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.
Al-Banna terus bergabung dgn tarekat tersebut sampai pd akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: ...(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yg berbai’at. Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan:
Dan saya berteman dgn saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah tiap malam... Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yg memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ni darinya. Ia jg memberi saya wirid dan amalan tarekat itu.
Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ni mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yg diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan:
Di saat-saat ini, nampak pd kami untk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya... Lalu dlm perjuangan ini, aku menggantikannya dgn organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.
Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia jg banyak membaca majalah Al-Manar yg diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yg banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan / menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dgn buku Ihya‘ Ulumuddin. Tapi bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untk melanjutkan pendidikan.
Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dlm benaknya, ide untk menjalin hubungan dgn orang-orang yg duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pd tahun 1927 M.
Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pd tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dpt berkomunikasi, bergaul dgn semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untk menjauh dari semua kelompok yg ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yg berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.
Pembentukan Gerakan Ikhwanul MusliminPada bulan Dzulqa’dah 1347 H yg bertepatan dgn Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untk Islam dan sama-sama bersumpah untk menjadikan hidup mereka untk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yg ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untk mencalonkan dirinya dlm pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yg waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, tapi Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.
WafatnyaPada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan.
Bersamaan dgn itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dgn ambulans. Tapi karena pendarahan yg hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yg ia dirikan. Pembaca mungkin berbeda-beda dlm menanggapi sejarah tersebut, sesuai dgn sudut pandang yg digunakan. Tapi bila kita melihatnya dgn kacamata syar’i, menimbangnya dgn timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yg suram.
Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yg berlatar belakang aliran shufi Hashafi dgn berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yg diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dgn cara bid’ah sampai pd praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yg terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yg berakidah salafi.
Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dlm menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yg Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam katakan:
تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا
Aku tinggalkan kalian di atas yg putih bersih, malamnya seperti siangnya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dlm Zhilalul Jannah no. 33)
Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.
Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul MusliminSekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yg didirikannya. Tapi itu tak cukup untk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yg didasari oleh komentar Al-Banna sendiri / tokoh-tokoh gerakan ni / simpatisannya.
Pertama : Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah
Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dlm agama:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Semua bid’ah itu sesat. (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
Kata-kata ni senantiasa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ucapkan dlm pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam jg katakan:
لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً
Allah melaknati orang yg melindungi bid’ah. (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)
Yakni ridha terhadapnya dan tak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yg lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri ungkapkan: Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adlh dakwah salafiyyah... tarekat sunniyah... hakekat shufiyyah...dan badan politik... (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122)
Ini menggambarkan usaha untk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ni adlh cara yg batil. Jika memang dakwahnya adlh salafiyyah yg sesungguhnya -dan itulah kebenaran- tak mungkin dipadukan dgn shufiyyah dgn berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yg diimpor dari Barat.
Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: Ratusan ribu manusia telah bergabung dgn kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yg bermacam-macam, paham yg berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yg menyangka bahwa kelompok ni adlh Shufi gaya baru..., demikian ungkap Muhammad Quthub dlm bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).
Bahkan dgn kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dgn usaha Al-Banna untk menyatukan antara Sunnah dgn Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yg beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan:
Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dgn serius untk mendekatkan antar berbagai paham, sehing-ga musuh tak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yg dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dgn Syi’ah, maka ia pun melarang untk masuk dlm permasalahan semacam ini... Kemudian mengatakan:
‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adlh muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dlm hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adlh pd perkara-perkara yg mungkin bisa didekatkan. (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)
Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dlm dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yg menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dgn menganggap mereka mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yg meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah -mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Seandainya hanya ni saja (penyimpangan) yg dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dgn segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.
Kedua : Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`
Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dlm agama kita, Islam.Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tak berteman dan bergaul dgn mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dgn menjauhi mereka. (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123, no. 175)
Tapi prinsip ni menjadi luntur dan benar-benar luntur dlm manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yg menganggap Allah menjadi satu dgn makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi).
Lebih dari itu -dan anda boleh kaget- Al-Banna mengatakan: Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dgn Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untk bersahabat dgn mereka. Dan Islam adlh syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita dgn mereka... dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya.... (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)
Apa yg pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yg lain? (Al-Baqarah: 85)
Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yg membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tak mau beriman kepada Nabi Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apakah ni semua tak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dgn Yahudi dlm pandangannya?
Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adlh Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: Saya tumbuh di sebuah lingkungan yg berkorban untk Islam. Madrasah ini, yg memimpinnya adlh seorang yg mempunyai ciri khas keseimbangan dlm pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ni sendiri adlh umat dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dgn semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adlh orang-orang Qibthi -yakni suku bangsa di Mesir yg beragama Nashrani- dan ia masukkan mereka ke dlm departemen politiknya... (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yg di luar kalanganmu, (karena) mereka tak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yg menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yg disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Ali ‘Imran: 118)
Ketiga : Tidak Perhatian terhadap Aqidah
Pembaca, aqidah adlh hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yg berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adlh segala-galanya, tak bisa main-main, tak bisa coba-coba. Tapi tak demikian adanya dgn kelompok yg kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yg tak beraqidah salaf dlm mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dgn ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)... Semua itu dgn makna yg tak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya... (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)
Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adlh salah satu dari tiga unsur penting dlm ilmu-ilmu tentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Intinya adlh mengimani nama-nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah k sebutkan dlm Al-Qur`an / Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebutkan dlm hadits yg shahih.
Aqidah Ahlussunnah dlm hal ni tergambar dlm jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi , ketika ditanya oleh seseorang: Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu? Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tak diketahui. Iman dengannya adlh wajib. Dan bertanya tentang itu adlh bid’ah!
Ucapan Al-Imam Malik ni minimalnya mengandung empat hal:
1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yg lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dgn bahasa Arab yg bisa dimengerti.
2. Tapi caranya tak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah k tak memberi-tahukan perincian tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yg lain.
3. Iman dengannya adlh wajib: karena Allah memberitakannya dlm Al-Qur`an dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan dlm haditsnya yg shahih.
4. Dan bertanya tentang itu adlh bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adlh bid’ah, tak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena Allah k tak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dgn ahli bid’ah yg melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, / bertanya untk mencari tahu dgn pertanyaan: Bagaimana?
Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: ...Semua itu dgn makna yg tak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya, adlh ucapan yg menyelisihi kebenaran. Dan ni tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ni adlh manhaj Ahluttafwidh / Al-Mufawwidhah, yg menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yg tak diketahui maknanya.
Madzhab ni sangat berbahaya, yg konsekuensinya adlh menganggap Nabi n dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tak mengetahui makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah t mengatakan bahwa: Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah. (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)
Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192). Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: Dan berdoa apabila diiringi dgn tawassul kepada Allah k dgn perantara seseorang dari makhluk-Nya, adlh perbedaan pendapat yg sifatnya furu’ (cabang) dlm hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah. (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pd dua edisi sebelumnya dlm Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untk menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dgn aqidah. Di antara tawassul itu ada yg sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yg bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.
Keempat : Menganggap Sepele Bid’ah dlm Agama
Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yg Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam katakan:
شَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا
Sejelek-jelek perkara adlh perkara yg diada-adakan. (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)Oleh karenanya, Nabi n berpesan:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ...
Dan jauhi oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dlm agama) karena semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan di neraka. (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Tapi berbeda keadaannya dgn gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dlm sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dgn satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dgn penegasannya:
Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pd ibadah-ibadah yg bersifat mutlak adlh perbedaan fiqih, yg masing-masing punya pendapat dlm masalah itu... (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dgn wasiat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yg sangat populer: Kita saling membantu pd perkara yg kita sepakati, dan saling mamaklumi pd apa yg kita perselisihkan. Pada prakteknya, mereka saling memaklumi dgn Syi’ah, Shufi yg ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yg belum sederajat dgn mereka.
Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adlh sebuah amalan yg pd asalnya disyariatkan, tapi dlm pelaksanaannya ditambah-tambah dgn sesuatu yg bid’ah.
Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yg mutlak, artinya tak terkait dgn waktu, jumlah, tata cara, / tempat tertentu. Tetapi dlm pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dgn tata cara tertentu dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dgn ucapan La ilaha Illallah, dlm sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yg membatasi dgn jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.
Bid’ah tarkiyyah, adlh meninggalkan sesuatu yg Allah halalkan / mubahkan dgn niat ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dgn itu. Contohnya adlh orang yg tak mau menikah dgn tujuan semacam itu, seperti yg dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yg mencontoh mereka. (lihat Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)
Kelima : Bai’at Bid’ah
Bai’at adlh sebuah ibadah. Layaknya ibadah yg lain, tak bisa dibenarkan kecuali dgn dua syarat: ikhlas dan sesuai dgn ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, / penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair -seorang tabi’in-: Sesuatu yg tak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yg ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama. (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165).
Al-Imam Malik mengatakan: Sesuatu yg di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ni jg bukan sebagai agama. (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: Bai’at tak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yg ada ni adlh bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yg berada di satu negara / satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untk satu pimpinan... (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.
Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: Wahai saudara-saudara yg jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya. (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268)
Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Tapi cukup untk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ni berdiri di atas asas bai’at yg salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yg dimaksud ketaatan pd point keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: ...Dan pd periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dlm periode ni adlh keshufian yg murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ni adlh ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan. (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)
Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yg memandikan. Sedangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam saja, dlm bai’at yg sah mensyaratkan ketaatan dgn dua syarat:
1. Pada perkara yg sesuai syariat.2. Sebatas kemampuan.
(lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)
Tahukah pula anda, apa yg dimaksud dgn paham pd point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini: Hanyalah yg saya maukan dgn ‘paham’ ini, adlh engkau harus yakin bahwa pemikiran kami adlh Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dlm batas 20 prinsip yg kami ringkas seringkas-ringkasnya. (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
Pembaca, haruskah seseorang berbai’at untk membenarkan pemikiran Al-Banna yg sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pd 20 prinsip yg ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?
Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dgn bai’at tersebut, salah satunya adalah: Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yg membuat susah tidur. (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), tapi dia tak menyinggung masalah pembenahan aqidah.
Pembaca yg saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yg ia dirikan. Sekaligus anda dpt mengetahui betapa jauhnya gerakan ni dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yg digariskan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya.
Lebih-lebih, gerakan ni juga, tak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yg lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yg dianggap merugikan dgn cara yg tak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dlm menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dgn yakin salah satu di antara mereka mengatakan: Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana. (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)
Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dlm bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul: Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adlh syahid, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau jg menyebutkan hadits dlm bab lain: ...Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dpt bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami merawatnya.
Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib ('Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’
Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tak tahu.’ Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ni adlh utusan Allah, aku tak tahu apa yg akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’. (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran....
Sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=303 http://facebook.com/photo.php?fbid=3383241273440
other source : http://abuayaz.blogspot.com, http://fb.com, http://cnn.com
0 Response to "SEJARAH SURAM IKHWANUL MUSLIM - Al Qur'an"
Post a Comment