vesoe.blogspot.com - Penulis: Bayu Gautama
Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) jg hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yg pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untk Allah, terlipatlah sajadah yg belum lama tergelar itu. Lupa pula dgn sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: Kalau tak terlambat / Asal nggak bangun kesiangan. Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dgn derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dlm khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.
Baca Qur’an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yg terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yg mengalir dari lidah ni tak sedikit pun membuat dada ni bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adlh ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yg sempat dibaca sehari, itu pun tak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yg menahan nafas mereka untk meredam getar yg menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yg baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dgn tetes air mata. Setiap tetes yg akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yg melafazkan ayat-ayat Allah dgn pemahaman dan pengamalan tertinggi.
Bersedekah jarang, begitu jg infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yg ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama jg jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yg paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?
Rasulullah adlh manusia yg paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, jg pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yg lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yg dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia jg mengajarkan para sahabat untk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.
Setiap hari ribut dgn tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ni terus jengkel tiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka / mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yg tertanam dlm dada ini? Adakah pantas hati yg seperti ni bertemu dgn Allah dan Rasulullah kelak?
Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yg masuk ke dlm surga Allah kelak. Tentu saja mereka yg berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yg dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?
Dengan adik tak akur, kepada kakak tak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yg telah mereka besarkan dgn segenap cinta. Cinta yg berhias peluh, air mata, jg darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?
Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yg disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yg sejak kecil tak beribu memerintahkan untk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yg teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yg tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.
Astaghfirullaah ...
source : http://wikipedia.org, http://bbc.co.uk
0 Response to "Wahai Umat Islam, Pantaskah Kita Masuk Syurga?"
Post a Comment