This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Teori] Civic-Islam Butuh Epistemologi dan Strategi

Civic-Islam Butuh Epistemologi dan Strategi
Dr. Asep Salahudin dan Budhiana Kartawijaya
Cendekiawan Muslim Dr. Asep Salahudin mengatakan, saat ni Islam Indonesia membutuhkan paradigma baru untk menjawab berbagai problem kehidupan. “Civic Islam dibutuhkan, tetapi kita membutuhkan epistemologi yg mendasar yg nantinya dibutuhkan,” ujarnya pd sesi tanya jawab diskusi “Civic Islam” di Kantor Penerbit Nuansa Cendekia, 16 Januari 2015 lalu. Asep sebagai salahsatu penanggap atas presentasi Civic-Islam dari AE Priyono, direktur LP3ES Jakarta.
Menurutnya, Civic Islam ni sangat penting, tapi kita harus secara kreatif dlm mengusung wacana maupun dlm pergerakannya. Banyak generasi muda Islam yg sekarang jauh dari wacana pemikiran kreatif, krisis wacana pemikiran, kuliah hanya untk mengejar gelar dan ruang-ruang kecendekiaan di ormas-ormas Islam mengalami kebingungan karena tak tahu apa yg harus dilakukan. “Karena itu sangat menarik bahwa masih ada yg berpikir untk sebuah terobosan dlm mengatasi kebuntuan dgn Civic-Islam sehingga nantinya kita punya harapan untk kemajuan bangsa,” jelasnya. Selain kebutuhan paradigma dasar / epistemologi, Asep Salahudin menyarankan beberapa strategi utama yg nantinya perlu diusung untk gagasan Civic Islam di Indonesia. Pertama, memahami ruang lingkup kehidupan umat Islam, terutama tiap gerakan informal di masjid-masjid dan lain sebagainya. Kedua, publikasi wacana dan publikasi gerakan dlm bentuk tulisan secara serius oleh kader-kader muda Islam. Ketiga, kaderisasi di kampus-kampus agar generasi muda Islam yg mengalami alienasi tersebut kembali mendapatkan ruh pemikiran dan bangkit elan vitalnya sebagai muslim yg berguna bagi bangsa. Senada dgn Asep, Budhiana Kartawijaya, Aktivis Senior Salman ITB dan mantan Pimred Redaksi HU PIkiran Rakyat menyampaikan bahwa civic-islam memang dibutuhkan saat ini. Banyak gerakan di tingkat lokal yg sifatnya sektoral sudah berjalan dan itu sejalan dgn prinsip civic-Islam. Dengan kata lain civic-Islam ni tak akan jauh dari masyarakat dan dibutuhkan masyarakat. Karena itu menurut Budhiana yg dibutuhkan pd level lebih maju adlh aktivitas yg programatik, tersusun secara baik, penguatan wacana civic, pemberdayaan melalui diskusi rutin, training, program penulisan, film, kesenian dan lain sebagainya. “Strategi budaya adlh pilihan yg paling bagus untk kemajuan civic Islam, efektif dan bisa terhubung ke berbagai pihak,” ujarnya.

Latar belakang Civic-Islam
Dalam diskusi “Civic-Islam Sebuah Keharusan” di Penerbit Nuansa Cendekia, 16 Januari 2015 lalu, AE Priyono menyampaikan bahwa salahsatu perlunya kehadiran Civic Islam disebabkan oleh beberapa latar belakang. Pertama, demokrasi di Indonesia sedang mengalami kemunduran karena faktanya lebih dominan menimbulkan kelas elit politik oligarkis, masyarakat yg apatis terhadap politik/politisi, ruang publik diselewengkan menjadi ruang private, ketidakadilan, dan bahkan masyarakat menjadi kurang beradab dlm urusan publik. Kedua, Islam-politik mengalami kegagalan karena terbukti tak mampu menjawab problem masyarakat kelas bawah, tak mampu memberikan konstribusi yg optimal bagi bangsa dan justru menjadi masalah besar. Misalnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terbukti tak mampu menjadi pemberi solusi atas masalah, melainkan justru menjadi masalah. Dari sini Islam-politik telah kehilangan elan vitalnya sebagai kekuatan transformatif. Islam-politik justru merupakan kombinasi dari konservatisme politik dan konservatisme agama. Pada kenyataannya, cita-cita Islam untk emansipasi sosial tak mendapat tempat, under-represented - bahkan non-exist - dlm demokrasi Indonesia. Islam-politik di tingkat lokal seringkali justru menjadi kekuatan ganas pembela status-quo. Olivier Roy (1982) pernah mengatakan bahwa Islam-politik telah gagal. Salah satu penyebab kegagalannya adlh karena Islam-politik tak pernah punya imaginasi mengenai apa itu “masyarakat-sipil” . Menurut AE Priyono, selama ni imaginasi Islam-politik hanya terkonsentrasi pd entitas keluarga, lalu bergerak ke entitas negara. Trajektorinya adlh dari keluarga, melalui umat, menuju negara. Islam-politik pd dasarnya hanya memperjuangkan Islam di tingkat keluarga dan negara. Ia bersikap ambigu pd entitas bangsa. Akibat kegagalan Islam-Politik disertai ketidakmampuan Islam non politik dlm berperan masyarakat, banyak kelompok Islam di luar partai politik yg terperosok ke dlm fundamentalisme, konservatisme anti-politik, / eskapisme anti-sosial. Dan inilah yg menjadi problem besar bangsa Indonesia saat ni karena. Kegagalan Islam-politik mengarungi dua karang antara neoliberalisme dan fundamentalisme mengharuskan munculnya alternatif: Civic-Islam. -Syarif Yahya
-Sumber http://katakini.com/berita-civic-islam-butuh-epistemologi-dan-strategi.html#

0 Response to "[Teori] Civic-Islam Butuh Epistemologi dan Strategi"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *