MEMBUMIKAN SOSOK INTELEKTUAL Oleh Faiz Manshur *) Siapakah yg menentukan gerak lokomotif kemajuan dan peradaban sebuah bangsa? Pertanyaan ni relevan untk membicarakan Indonesia saat ini. Apalagi masih dlm masa pemerintahan baru, dan ada pula hajat penting kaum intelektual di beberapa organisasi, sebut saja Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yg beberapa waktu lalu berlangsung, kemudian Konggres Umat Islam 8-9 Pebruari di Yogyakarta, berdirinya Partai Politik Perindo di Jakarta, dan secara khusus saat sekarang gairah kajian dan gerakan civic-Islam di Bandung mulai menguat.
Hubungan intelektual, tugas-tanggungjawab dan perihal nilai-nilai luhur kewargaan sangat beralasan dibicarakan. Pertama menyangkut nasib ratusan juta umat manusia di negara kita.Kedua, tentang “kemajuan”, yg di dalamnya memuat tanggungjawab kemanusiaan. Ketiga, tentang “peradaban” yg di dalamnya memuat tujuan ideal hidup manusia, / dlm konteks yg lebih praktis saat ni adlh upaya perwujudan“civic-virtue”yang maujudnya masih jauh dari harapan.
Sosok intelektual Dari beragam literatur tentang intelektual, terdapat banyak bukti bahwa kelompok ni menjadi bagian terpenting lokomotif kemajuan suatu masyarakat / suatu bangsa. Sayangnya, pemahaman tentang karakter intelektual-organik ni sering keliru dipahami karena dilihat secara abstrak, bahkan mistis. Intelektual dianggap barang mewah. Hal ni bukan karena belum adanya penjabaran, melainkan karena tak ada gairah untk mendiskusikan secara terus-menerus. Pengertian intelektual versi Julian Benda (1927) / Antonio Gramsci (1935) kemudian karya fenomenal Edward Said (1978) misalnya, sudah lumayan mencukupi sebagai bahasan diskusi awal, tetapi kajian ni hanya sebatas menarik penulis dan aktivis pergerakan yg mendapatkan ilmunya dari diskusi-diskusi eksklusif di antara kalangan “kutu-buku” -tak melebar melebar ke kalangan mahasiswa secara umum, apalagi pelajar selevel SMA. Dari Julian Benda, kita mengenal sisi ideal tentang intelektual sebagai sosok bergengsi sekaligus suci dan heroik—namun tak bisa diabaikan jg tentang kisah “penghianatan intelektual”-nya. Pandangan lain yg menarik dari Antonio Gramsci, Intelektual Kiri dari Italia, pencetus ide intelektual-organik yg secara kreatif mendeskripsikan intelektual ke jalan fungsional dan menjauhi pengertian metafisis ala Julian. Di mata Gramsci, intelektual bukan sekadar sosok-sosok pemikir yg telah melegenda melainkan berwujud sosok-sosok seperti guru, dosen, ulama/kyai, dokter, konsultan, politisi, administrator, wartawan, pengelola penerbitan, wirausahawan, marketer, pengelola lembaga kursus, dan seterusnya. Karena perincian ni masuk dlm ranah “profesi” maka ia membagi dua kategori, yakni intelektual tradisional dan intelektual organik. Yang pertama merujuk pd intelektual konservatif, / kolot karena hanya menjadi pelayan terbatas pd keseharian melakoni profesinya—berasyik-asyik mencukupkan diri pd pekerjaannya. Sementara yg kedua adlh intelektual yg gairah kerjanya untk perubahan dan senafas dgn denyut nadi kehidupan rakyat jelata, melampauipekerjaan profesionalnya dan punya kemauan sekaligus mampu membuktikan gerakan kebajikan di komunitas/kelompoknya masing-masing. Sebagai contoh, seorang dosen sebagai intelektual organik bukanlah dosen yg beraktivitas untk masyarakat cukup pd jam mengajar, melainkan jg aktif terlibat di luar urusan kampus dgn membawa misi pencerahan, pengorganisasian, dan praktik pembelajaran untk sebuah kemajuan bersama. Untuk konteks ke-Islaman, Dr. Kuntowijoyo (Alm.) menyebut cara pandang Gramsci ni bisa ditarik untk umat Islam sebagai ‘intelektual profetik’ karena selaras dgn tugas kenabian yg memiliki kualitas keilmuan tetapi selalu menyatu dgn umatnya.
Memetik pelajaran Dengan memahami pengertianintelektual seperti di atas, kita memperoleh manfaat untk menghadapi situasi masa kini. Beberapa manfaat tersebut antara lain;Pertama, intelektual tak lagi dijadikan mitos yg kelewat suci melainkan berguna sebagai sosok praktis pengubah keadaan sosial kemanusiaan. Kedua, dgn meruntuhkan pengertian mistis tersebut kita pun bisa mengontrol kebiasaan para kaum akademik yg maaf, --sejalan dgn tren narsisus / kepentingan pragmatis berekonomi era internet saat ini-- sering bangga memajang gelar, tetapi kapasitas intelektualnya rendah dan tak memiliki prestasi intelektual organik/profetik di masyarakat. Ketiga, dgn menyadari posisi, peran, dan tanggungjawab intelektual, ada semacam introspeksi diri untk 1) selalu sadar akan kekurangan ilmu karena itu mesti terus belajar hal baru secara mendalam, 2) sadar untk memiliki kemampuan diri berkomunikasi/berjejaring lebih luas dan dgn itu mendapat efek pengetahuan yg makin melimpah sekaligus menghindari diri dari ketertutupan pergaulan, 3) merasakan bahwa apa yg dilakukan dlm menjalankan profesinya baik secara formal maupun informal (karena membawa misi organik/profetik) tersebut adlh suatu anugrah yg membahagiakan sehingga perburuan hidupnya tak berhenti pd urusan perut, bawah perut,dan kenyamanan keluarga semata.Keempat, intelektual organik bukanlah label, melainkan spirit hidup bagi seorang manusia. Karena itu ia tak akan hadir dari langit secara tiba-tiba, melainkan harus diproses melalui jalan pembelajaran diri. Semakin dini seseorang belajar menjadi intelektual organik, semakin baik di kemudian hari. Karena itulah pembelajaran aktif intelektual organik melalui basis ke-organisasian menjadi penting sejak remaja. Dan khusus pd level mahasiswa, sudah menjadi kebutuhan mendesak. Itulah mengapa selain kuliah, seorang mahasiswa selalu disarankan untk berorganisasi, dan organisasi yg terbaik adlh organisasi yg mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan dan politik dgn paradigma keterbukaan (inklusivitas), kebangsaan, kewargaan dan peradaban. Kelompok-kelompok diskusi informal / kelompok formal di berbagai organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII), Pergerakan Islam (PI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) adlh sarana kegiatan untk pembentukan karakter intelektual organik. Seorang intelektual organik adlh mereka yg tak lagi hanya sebatas berpikir dan bertindak sebatas kepentingan diri dan keluarganya, melainkan berpikir dan bertindak bersama untk kepentingan kewargaan. Globalisasi dgn kemajuan teknologi, --terutama dgn internet yg menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari-- telah banyak membawa berkah, salah satunya yg terpenting ialah pengupayaan“civic-virtue”. Pada golongan muslim yg nota-bene mayoritas di Indonesia, kita pun bisa mengembangkan gairah civic-Islam karena selain Islam dikenal miskin imajinasi tentang masyarakat-sipil, jg penting untk upaya pemberadaban laku hidup di ruang publik. Demikian jg organisasi agama lain, bisa mendorong gerakan dgn mindset civic-Kristen untk keorganisasian umat Kristen, civic-Katholik, untk keorganisasian umat Katholik, civic-Hindu untk keorganisasian umat Hindu, dan seterusnya. Semua ni merupakan tanggungjawab kaum intelektual untk menjawab ragam problematika hidup kebangsaan Indonesia yg masih bermasalah dlm urusan kesenjangan kelas ekonomi dan kelas sosial, fundamentalisme agama menyebarkan teror, korupsi telah merusak sendi kehidupan nasional, ketertutupan ilmu pengetahuan, dan rusaknya ruang publik akibat penjajahan kapitalisme dan politik oligarki.[]
*) Penulis adlh Anggota Forum Bestari (Forbes), bergiat untk gerakan Civic-Islam. Pemimpin Redaksi Penerbit Nuansa Cendekia Bandung. SUMBER
Hubungan intelektual, tugas-tanggungjawab dan perihal nilai-nilai luhur kewargaan sangat beralasan dibicarakan. Pertama menyangkut nasib ratusan juta umat manusia di negara kita.Kedua, tentang “kemajuan”, yg di dalamnya memuat tanggungjawab kemanusiaan. Ketiga, tentang “peradaban” yg di dalamnya memuat tujuan ideal hidup manusia, / dlm konteks yg lebih praktis saat ni adlh upaya perwujudan“civic-virtue”yang maujudnya masih jauh dari harapan.
Sosok intelektual Dari beragam literatur tentang intelektual, terdapat banyak bukti bahwa kelompok ni menjadi bagian terpenting lokomotif kemajuan suatu masyarakat / suatu bangsa. Sayangnya, pemahaman tentang karakter intelektual-organik ni sering keliru dipahami karena dilihat secara abstrak, bahkan mistis. Intelektual dianggap barang mewah. Hal ni bukan karena belum adanya penjabaran, melainkan karena tak ada gairah untk mendiskusikan secara terus-menerus. Pengertian intelektual versi Julian Benda (1927) / Antonio Gramsci (1935) kemudian karya fenomenal Edward Said (1978) misalnya, sudah lumayan mencukupi sebagai bahasan diskusi awal, tetapi kajian ni hanya sebatas menarik penulis dan aktivis pergerakan yg mendapatkan ilmunya dari diskusi-diskusi eksklusif di antara kalangan “kutu-buku” -tak melebar melebar ke kalangan mahasiswa secara umum, apalagi pelajar selevel SMA. Dari Julian Benda, kita mengenal sisi ideal tentang intelektual sebagai sosok bergengsi sekaligus suci dan heroik—namun tak bisa diabaikan jg tentang kisah “penghianatan intelektual”-nya. Pandangan lain yg menarik dari Antonio Gramsci, Intelektual Kiri dari Italia, pencetus ide intelektual-organik yg secara kreatif mendeskripsikan intelektual ke jalan fungsional dan menjauhi pengertian metafisis ala Julian. Di mata Gramsci, intelektual bukan sekadar sosok-sosok pemikir yg telah melegenda melainkan berwujud sosok-sosok seperti guru, dosen, ulama/kyai, dokter, konsultan, politisi, administrator, wartawan, pengelola penerbitan, wirausahawan, marketer, pengelola lembaga kursus, dan seterusnya. Karena perincian ni masuk dlm ranah “profesi” maka ia membagi dua kategori, yakni intelektual tradisional dan intelektual organik. Yang pertama merujuk pd intelektual konservatif, / kolot karena hanya menjadi pelayan terbatas pd keseharian melakoni profesinya—berasyik-asyik mencukupkan diri pd pekerjaannya. Sementara yg kedua adlh intelektual yg gairah kerjanya untk perubahan dan senafas dgn denyut nadi kehidupan rakyat jelata, melampauipekerjaan profesionalnya dan punya kemauan sekaligus mampu membuktikan gerakan kebajikan di komunitas/kelompoknya masing-masing. Sebagai contoh, seorang dosen sebagai intelektual organik bukanlah dosen yg beraktivitas untk masyarakat cukup pd jam mengajar, melainkan jg aktif terlibat di luar urusan kampus dgn membawa misi pencerahan, pengorganisasian, dan praktik pembelajaran untk sebuah kemajuan bersama. Untuk konteks ke-Islaman, Dr. Kuntowijoyo (Alm.) menyebut cara pandang Gramsci ni bisa ditarik untk umat Islam sebagai ‘intelektual profetik’ karena selaras dgn tugas kenabian yg memiliki kualitas keilmuan tetapi selalu menyatu dgn umatnya.
Memetik pelajaran Dengan memahami pengertianintelektual seperti di atas, kita memperoleh manfaat untk menghadapi situasi masa kini. Beberapa manfaat tersebut antara lain;Pertama, intelektual tak lagi dijadikan mitos yg kelewat suci melainkan berguna sebagai sosok praktis pengubah keadaan sosial kemanusiaan. Kedua, dgn meruntuhkan pengertian mistis tersebut kita pun bisa mengontrol kebiasaan para kaum akademik yg maaf, --sejalan dgn tren narsisus / kepentingan pragmatis berekonomi era internet saat ini-- sering bangga memajang gelar, tetapi kapasitas intelektualnya rendah dan tak memiliki prestasi intelektual organik/profetik di masyarakat. Ketiga, dgn menyadari posisi, peran, dan tanggungjawab intelektual, ada semacam introspeksi diri untk 1) selalu sadar akan kekurangan ilmu karena itu mesti terus belajar hal baru secara mendalam, 2) sadar untk memiliki kemampuan diri berkomunikasi/berjejaring lebih luas dan dgn itu mendapat efek pengetahuan yg makin melimpah sekaligus menghindari diri dari ketertutupan pergaulan, 3) merasakan bahwa apa yg dilakukan dlm menjalankan profesinya baik secara formal maupun informal (karena membawa misi organik/profetik) tersebut adlh suatu anugrah yg membahagiakan sehingga perburuan hidupnya tak berhenti pd urusan perut, bawah perut,dan kenyamanan keluarga semata.Keempat, intelektual organik bukanlah label, melainkan spirit hidup bagi seorang manusia. Karena itu ia tak akan hadir dari langit secara tiba-tiba, melainkan harus diproses melalui jalan pembelajaran diri. Semakin dini seseorang belajar menjadi intelektual organik, semakin baik di kemudian hari. Karena itulah pembelajaran aktif intelektual organik melalui basis ke-organisasian menjadi penting sejak remaja. Dan khusus pd level mahasiswa, sudah menjadi kebutuhan mendesak. Itulah mengapa selain kuliah, seorang mahasiswa selalu disarankan untk berorganisasi, dan organisasi yg terbaik adlh organisasi yg mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan dan politik dgn paradigma keterbukaan (inklusivitas), kebangsaan, kewargaan dan peradaban. Kelompok-kelompok diskusi informal / kelompok formal di berbagai organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII), Pergerakan Islam (PI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) adlh sarana kegiatan untk pembentukan karakter intelektual organik. Seorang intelektual organik adlh mereka yg tak lagi hanya sebatas berpikir dan bertindak sebatas kepentingan diri dan keluarganya, melainkan berpikir dan bertindak bersama untk kepentingan kewargaan. Globalisasi dgn kemajuan teknologi, --terutama dgn internet yg menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari-- telah banyak membawa berkah, salah satunya yg terpenting ialah pengupayaan“civic-virtue”. Pada golongan muslim yg nota-bene mayoritas di Indonesia, kita pun bisa mengembangkan gairah civic-Islam karena selain Islam dikenal miskin imajinasi tentang masyarakat-sipil, jg penting untk upaya pemberadaban laku hidup di ruang publik. Demikian jg organisasi agama lain, bisa mendorong gerakan dgn mindset civic-Kristen untk keorganisasian umat Kristen, civic-Katholik, untk keorganisasian umat Katholik, civic-Hindu untk keorganisasian umat Hindu, dan seterusnya. Semua ni merupakan tanggungjawab kaum intelektual untk menjawab ragam problematika hidup kebangsaan Indonesia yg masih bermasalah dlm urusan kesenjangan kelas ekonomi dan kelas sosial, fundamentalisme agama menyebarkan teror, korupsi telah merusak sendi kehidupan nasional, ketertutupan ilmu pengetahuan, dan rusaknya ruang publik akibat penjajahan kapitalisme dan politik oligarki.[]
*) Penulis adlh Anggota Forum Bestari (Forbes), bergiat untk gerakan Civic-Islam. Pemimpin Redaksi Penerbit Nuansa Cendekia Bandung. SUMBER
0 Response to "Esai Intelektual-Organik dan Gerakan Civic-Islam"
Post a Comment