|
AE Priyono |
Pendahuluan HARI-HARI ni kita sedang menyaksikan betapa sulitnya beragama dan berkeyakinan secara bebas di Indonesia. Orang-orang Islam garis-keras seperti muncul dari balik kegelapan, dan memaksakan keyakinannya yg eksklusif kepada publik bahwa Ahmadiyah sesat, pemeluknya boleh dibunuh, masjid-masjidnya boleh dibakar dan dijarah, mayatnya bisa dibongkar dan dibuang di pinggir jalan; bahwa mereka akan dilarang naik haji, bahkan haram hukumnya jika akan menikah dgn orang Islam. Orang-orang itu sedang terus mendesak agar Pemerintah bertindak untk segera membubarkan Ahmadiyah, sedang menggerilya para Gubernur dan Bupati dan Walikota untk mengeluarkan Perda pelarangan Ahmadiyah, / memaksa jamaah Ahmadiyah keluar dari Islam dan membentuk agama baru. Orang-orang yg sama jg masih terus menyegel gereja, mencegah orang-orang Kristen sekte tertentu beribadat di rumah ibadatnya sendiri, menganiaya para pendetanya; dan karena merasa terganggu terhadap kehadiran mereka di lingkungan mereka, lalu berusaha mengusirnya dgn cara kekerasan, bahkan meminta Pemkot membantu gerakan pengusiran dan pelenyapan itu. Setelah terhadap Ahmadiyah dan Kristen, orang-orang dari jenis yg sama jg sedang mengincar Syiah untk dijadikan sasaran berikutnya; begitu jg terhadap apa yg mereka sebut jamaah “Islam Liberal.” Beberapa waktu lalu kita mendengar sebuah pondok pesantren Syiah di Pasuruan sengaja dirusak, diobrak-abrik, dan dihancurkan. Jauh sebelumnya, seorang aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal) dianggap halal darahnya untk dibunuh. Selama beberapa tahun terakhir ni kehidupan beragama di Indonesia memang sedang memasuki periode berbahaya, penuh darah dan kekerasan; penuh intoleransi dan eksklusivisme; penuh semangat perang dan supremasisme. Bagamanakah kita harus menilai keadaan ini? Apakah yg sesungguhnya sedang terjadi?
Penjelasan Politik Sampai sejauh ni sudah banyak argumen politik dikemukakan untk menjelaskan penyebab terjadinya eskalasi kekerasan dlm hubungan antar agama di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini. Skema di bawah ni memberikan kerangka umum untk penjelasan seperti itu. Demokratisasi telah menyebabkan Negara menjadi melemah, tak seperti pd masa Orde Baru. Kekuatan kontrolnya terhadap masyarakat jg ikut melemah. Bahkan melalui proses desentralisasi, kekuatan-kekuatan lokal baru muncul dan makin meniadakan sentralisme kekuasaan, sehingga tercipta politik polisentrisme. Bersamaan dgn itu, kekuatan-kekuatan modal merajalela, misalnya telah menciptakan terjadinya kolaborasi dgn kekuasaan-kekuasaan lokal, sehingga seringkali wilayah publik didominasi kepentingan privat. Pada saat yg sama, kekuatan-kekuatan komunal jg menguat, biasanya didominasi oleh wacana sektarian berbasis agama / etnis, mendikte negara untk memihak kepada kepentingan mereka. Demos, masyarakat warga-negara - dlm ketiadaan akses langsung ke negara, / karena ditipu terus menerus oleh partai politik sebagai lembaga-lembaga oligarki elite, jg karena belum bisa membangun blok-blok independen dgn basis civic yg kuat, bahkan terus terpecah-belah di antara sesama mereka sendiri - akhirnya berada dlm situasi didominasi oleh kekuatan modal di satu pihak, dan kekuatan komunal di pihak lain. Artinya, hanya tinggal dua pilihan bagi mereka: memilih fundamentalisme pasar / fundemantalisme agama. Sebagai akibat dari berbagai faktor, suasana politik liberal di Indonesia telah menyebabkan munculnya banyak organisasi Islam yg bercorak “jihadis,” baik yg benar-benar lahir dari konteks lokal maupun yg hanya menjadi agen dari gerakan Islam-transnasional. Mereka ni dipayungi oleh MUI, setidaknya secara doktrinal, misalnya menyangkut dogmatika jihad mereka: anti sekularisme, anti liberalisme, dan anti pluralisme. Berwatak sektarian, eksklusif dan ekslusioner, mereka mengkonstruksi identitas politik dan keagamaan mereka sebagai pembela Islam di tengah-tengah kepungan demokrasi liberal sekuler. Mewarisi paham Wahabis mereka jg melakukan takfir (memperlakukan golongan Islam lain sebagai kafir), misalnya terhadap Ahmadiyah, Syiah, dan berbagai aliran Islam modernis. Tapi yg membuat suasana jadi makin mengerikan, mereka memprovokasi kelompok-kelompok Muslim yg secara sosial, politik, maupun ekonomi marginal, dgn sentimen-sentimen sektarian, anti-pluralis, terkadang rasis, dan komunalistik. Konfigurasi dari semua ni adlh munculnya apa yg disebut “nalar fundamentalisme” yg menguat di ruang publik. Nalar ni menganggap diri paling benar, paling unggul, supremasis, mengatasi segala-galanya. Celakanya, nalar ni diyakini oleh para pengikutnya sebagai solusi untk banyak masalah kenegaraan yg memang sudah sangat kronis, seperti korupsi. Nalar inilah yg sekarang ni sedang didiktekan kepada Negara yg sedang melemah, Presiden yg peragu, polisi yg korup, para kepala daerah yg takut, dan umat Islam mainstream yg diam saja …
Beyond Political Arguments: Intoleransi Fundamentalis vs. Relativisme Internal Intra-Islam Bagaimanakah kita bisa memahami doktrin konstititusional mengenai “kebebasan beragama dan berkeyakinan” dlm situasi sosial ketika esklusivisme dan supremasisme keagamaan sedang merajalela di bawah nalar fundamentalis? Netralitas dan Imparsialitas Negara Jaminan konstitusional terhadap kebebasan beragama dan berkayakinan sesungguhnya merupakan kelanjutan logis dan pengakuan ontologis atas fakta tentang pluralisme sosial dan kultural, termasuk pluralisme agama, yg sudah hidup ratusan tahun di Indonesia. Negara Republik Indonesia didirikan di atas prinsip pluralisme seperti itu. Sesuai prinsip tersebut, negara harus bersikap netral dan imparsial manakala terjadi perselisihan internal di antara -maupun di kalangan - komunitas-komunitas beragama. Keharusan adanya Toleransi dlm Masyarakat yg Plural Keyakinan keagamaan - yg sejatinya bersifat individual-personal - harus dijamin oleh lembaga-lembaga demokratik untk terselenggaranya stabilitas sosial dan politik.[3] Ini berarti bahwa toleransi harusnya menjadi norma dlm pergaulan antar-agama dan antar-keyakinan, di mana negara berperan untk melindungi kebebasan masing-masing pemeluk agama, baik pd tingkat individual maupun kelompok. Dalam masyarakat yg pluralistik secara keagamaan, toleransi agama sungguh-sungguh merupakan keharusan. Dan di atas segala-galanya, keharusan itu semestinya dijaga sebagai mandat konstitusional oleh negara. Objektifikasi Agama melalui Deliberasi Sebaliknya, keyakinan keagamaan tidaklah bisa dipakai begitu saja sebagai basis untk membuat / melegitimasi keputusan-keputusan publik kecuali jika ia diterjemahkan lebih dulu ke dlm nalar politik sekular. Prinsip ni mengingatkan kita pd apa yg dikatakan Kuntowijoyo sebagai objektifikasi agama, yakni agar norma-norma dan nilai-nilai subjektif agama yg bersifat partikular harus ditransformasikan menjadi etika sosial yg bersifat universal, agar akseptabilitasnya berlaku umum dan bisa diterima semua orang melalui deliberasi publik. Sayang sekali, dlm kenyataannya ketiga premis itu itu hancur berantakan di bawah intoleransi fundamentalis yg marak tak terbendung selama sepuluh tahun terakhir ni di Indonesia. Dengan klaim-klaim eksklusif yg bersifat partikular dan subjektif, nalar ni bahkan sedang berusaha mengambil alih tindakan koersif yg sebenarnya menjadi monopoli negara. Nalar ni bahkan menyusup di lembaga-lembaga klerikal ulama yg memiliki status sebagai lembaga semi-negara untk membuat fatwa-fatwa resmi, misalnya tentang ajaran anti-pluralisme. Dalam kasus Ahmadiyah, bahkan Menteri Agama Suryadharma Ali sudah pula membuat rancangan-rancangan keputusan eksekutif untk memurtadkannya / mengeluarkannya dari Islam. Sampai di sini, saya sungguh tak mengerti lagi mengapa nalar fundamentalis menjadi begitu hegemonik, dan bagaimana kita - khususnya umat Islam mainstream - harus bersikap. Ajaran Nurcholish Madjid agar umat Islam, sebagai warga-negara, memberlakukan sikap ganda, yakni “pluralisme eksternal dan relativisme internal,” kini seperti ditinggalkan orang, dan tak ada yg menghormatinya lagi … Astaghfirullah al-adzim!
AE Priyono, 2011Sumber: Blog AE Priyono [1] Disampaikan pd Seminar Nasional “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Tanpa Kekerasan dan Diskriminasi,” Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 9 Maret 2011. [2] Lihat jg Olle Törnquist, Neil Webster, and Kristian Stokke (2009), Rethinking Popular Representation(New York: Palgrave Macmillan), p. 5. [3] Thomas M. Schmidt (1999), “Religious Pluralism and Democratic Society: Political Liberalism and the Reasonableness of Religious Beliefs,” Philosophy and Social Criticism, Sage Publication, Vol. 25, No. 4, p. 44.
0 Response to "Nalar Fundamentalisme Agama di Ruang-Publik"
Post a Comment