Untuk Siapa Islam Itu?
Seputar problem politik Indonesia dan tawaran civic-Islam
Oleh FAIZ MANSHUR
Realitas peta politik
Dalam upaya mencari solusi, kita perlu melihat peta faktual yg terjadi. Kenyataan demokrasi liberal yg diterapkan di Indonesia semenjak tahun 1998 menunjukkan kemunduran. Hal ni bisa dilihat dari munculnya kekuasaan oligarki, masyarakat yg apatis dan muak terhadap politisi, rusaknya ruang publik karena dijajah kapitalisme, kesenjangan ekonomi, dan patologi sosial merajalela, --bahkan atas nama agama dgn berbagai kekerasan dan aksi terornya. Islam dlm hal ni belum menunjukkan aktualisasi konkret untk menjawab problematika bangsa. Pendek kata, Islam-politik formal terjebak dlm kemacetan demokratisasi, sedangkan Islam-informal terperosok ke dlm fundamentalisme, konservatisme anti-politik, / eskapisme anti-sosial. Lalu, apakah Islam-politik dan jg jenis Islam Informal bisa diperbaiki? Apakah ada peluang dan harapan itu? Jawabnya, bisa, selagi ada usaha. Berpijak pd sejarah, bahwa gagasan demokrasi dlm imaginasi para pendiri bangsa sebenarnya berorientasi pd perspektif Republikanisme ketimbang liberalisme. Jika elemen liberalisme menekankan aspek kebebasan sipil dan politik serta otonomi dan kedaulatan individu, tiga elemen Republikanisme adalah: (active)-citizenship, rule of law, dan civic-virtue. Dengan berpijak pd sejarah gagasan demokratisasi tersebut, sebenarnya kerangka besar dlm politik Indonesia tak usah dibentuk lagi, melainkan tinggal menerapkan politik republikanisme dgn cara baru, yg aktual.
Karena itu, selagi gerakan Islam serius dlm memainkan aksi ke-Islamannya secara ilmiah, demokratis, partisipatoris dan memiliki keberpihakan yg jelas, maka penting kita berpikir sungguh-sungguh dgn kemungkinan menawarkan revitalisasinya dlm konteks baru --yakni kondisi-kondisi post-modernism, post-secularism, dan post-Islamism, dan post-structuralism.Jalan baru civic-Islam
Di sini menjadi penting upaya memperkuat elemen-elemen republikanisme untk menanggulangi kegagalan demokrasi liberal yg dibajak oleh oligarki, itulah persisnya yg menjadi tantangan terbesar bangsa ini. Civic-Islam melangkah pd arus solutif tersebut. Ia adlh sejenis meta-ideologi pra-politik untk memasukkan nilai-nilai transendental ke dlm konteks historis sosial-kultural “nasional.” Nilai-nilai partikular dan subjektif Islam harus diterjemahkan ke dlm bahasa general dan objektif: amar ma’ruf (emansipasi), nahy mun’kar (liberasi), tuma’nina billah (transendensi). Dalam konteks ke-Islaman, maka perjuangan civic-Islam itu harus terintegrasi dlm bahasa perjuangan bangsa, dgn kejelasan pemihakan terhadap kelas bawah, yg itu membutuhkan aktivis-aktivis ke-Islaman yg memiliki kualitas intelektual kritis aktif yg berkarakter deliberatif-partisipatoris, mampu memanfaatkan ruang-publik agar menjadi civic public-space, yg inklusif, pluralis, dan toleran, sekaligus yg mampu menanamkan nilai-nilai kebajikan (ethical-virtue). Itulah agenda yg harus dikembangkan melalui diskursus civic-Islam. Di luar itu, civic-Islam jg harus mengarah menjadi wahana bagi berkembangnya spirit emansipatoris, serta ajang konsolidasi untk pembelaan kaum marginal dgn penegasan untk memperjuangkan transformasi ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi - dua isu yg sepenuhnya gagal dicapai oleh kelompok neoliberalisme dan fundamentalisme.Muslim kelas menengah kota
Apa yg menjadi catatan dari sebuah diskusi tersebut ternyata sangat penting sebagai bahan renungan kita. Utamanya untk muslim kelas menengah di perkotaan, di mana tiap hari secara langsung menyaksikan kontradiksi atas semaraknya gairah ke-Islaman tetapi pd sisi lain kita menyaksikan kejahiliyahan (kemiskinan dan kefakiran) merajelala. Kelas menengah muslim ni perlu mendapat perhatian karena kelompok inilah yg selain sedang mendapatkan anugrah kemakmuran, jg relatif memiliki pengetahuan sekaligus pengalaman yg -sesuai semangat Islam maupun standar intelektual- memiliki tanggungjawab untk pembangunan kemanusiaan dan peradaban. Jika terminologi kelas sosial acuannya pd kekastaan ekonomi, maka dlm konteks ke-Islaman perlu ditafsirkan sebagai kualitas kemusliman dlm konteks sosial. Pendeknya, kelas muslim berkualitas bukan karena kualitas ekonominya semata, melainkan harus disertai aktualisasi sosial dlm bentuk amal pergerakan emansipasi, yg paling utama adlh memperhatikan orang-orang teraniaya, marjinal, fakir-miskin, sebagaimana spirit awal kenabian. Jadi, jika kelas menengah Muslim ni hanya bekelas secara ekonomi, tetapi tak berkelas secara aktualitas sosial, maka bisa disebut mutu kelas spirititualnya rendah. Bisa jadi kelas menengah yg gemar bersolek ke-Islam-Islaman ni kualitasnya sebatas urusan biologis/fisik (berekonomi, mencari kemapanan hidup dan seks). Wujud kualitas paling bermutu ni biasanya bisa dilihat dari seseorang tersebut memiliki 1) militansi dlm bersungguh-sungguh (berjihad) belajar keagamaan secara bermutu melalui iqra (membaca) bacaan-bacaan Islam yg ilmiah (bukan sekadar belajar melalui pengajian dari ceramah), 2) kerelaan untk berkegiatan sosial sebagai tindakan amal sosial, 3) dan kemampuan (memiliki ilmu sosial-politik) untk berbicara objektif, jujur dan berani kepada pemerintah untk menegakkan keadilan (amar ma’ruf nahy munkar). Memilih jalan asketis dgn berhenti pd kegiatan ibadah untk pemenuhan kebutuhan individu dan melupakan tanggungjawab kemasyarakatan sekalipun dgn penampilan ke-Islaman—tetaplah bukti kemerosotan kualitas ke-Islaman karena spirit sejati para nabi adlh kemampuan membuktikan keberpihakan kita pd kaum lemah, menegakkan keadilan, dan mewujudkan peradaban hidup yg berprikemanusiaan. Jadi, untk siapa Islam itu? Untuk dirimu sendiri sehingga asketis, egois beribadah individual untk melepaskan diri dari kehampaan hidup? Untuk sekadar eksis agar diakui teman-teman dgn ikut tren keislaman? Atau untk kualitas puncak dgn perhatian kita kepada kaum lemah? Selain gemar ikut dlm gema-dzikir, sebaiknya kita semakin berpikir. Dan gerakan civic-Islam dlm pengertian ni adlh upaya jihad (bersungguh-sungguh) untk membuktikan 1) kualitas ke-Islaman seseorang yg berkualitas dari sisi intelektual, dan membuktikan 2) kualitas peranan sosial kita sebagai manusia sosial sebagaimana nabi membaktikan dirinya hidup untk perjuangan sosial-kemanusiaan. []source : http://dailymotion.com, http://slideshare.net, http://civicislam.blogspot.com
0 Response to "[Opini] Opini Tentang Civic-Islam di Harian Inilahkoran.com 14-02-2015"
Post a Comment