This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Civic-Islam dan Pemikiran Kritis Mahasiswa

Civic-Islam dan Pemikiran Kritis Mahasiswa
Lima Pemikiran Kritis yg Perlu Dimiliki Mahasiswa Islam
Bandung, NU Online.Saat ni mahasiswa perlu konsentrasi memikirkan kelemahan mendasar dari umat Islam yg kurang memiliki pemahaman tentang hakikat hidup berbangsa dan bernegara melalui pandangan kewargaan.
Demikian dikatakan Dr. Asep Salahudin, peneliti Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakspesdam) Jawa Barat di hadapan puluhan mahasiswa Jurusan Syariah Universitas Islam Negeri Bandung (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dlm diskusi "Apa itu Civic-Islam" di kampus setempat, Jumat (27/2) lalu. Dalam pandangan studi kewargaan ala civic-Islam, umat Islam selalu gagal dlm urusan kenegaraan karena lebih mengedepankan simbol-simbol keagamaan dan lupa akan substansi perjuangan hakiki Islam, yakni memperjuangkan umat, terutama kelompok masyarakat lapisan bawah.
"Ketika sudah berbicara ‘Indonesia’ maka segenap ihwal pra politik etnik, agama, dan seterusnya harus ditanggalkan dan lebih berpikir pd substansi perjuangan. Menanggalkan identitas, misalnya identitas Islam itu bukan berarti meninggalkan Islam, tetapi supaya lebih berfokus pd upaya perwujudan Islam yg sejati dlm arena politik yg dijalankan," jelasnya.
Dengan memandang realitas gagalnya Islam-Politik dan kemandulan demokrasi saat ini, Salahudin berharap mahasiswa-mahasiswa bersikap kritis terhadap realitas politik Indonesia saat ini. Menurutnya, kebangsaan Indonesia, meliputi tanah air, bangsa dan bahasa, bukan bertaut dgn sentimentalisme agama, etnik dan sentimen sempit lainnya.
"Tanpa harus melakukan formalisasi agama, puritanisasi etnisitas, justru kita akan masuk dlm jantung penghayatan keagamaan yg subtil. Sejarah sumpah pemuda misalnya, memakai agama sebagai ‘daya keyakinan’, bukan sebagai identitas untk melakukan perlawanan terhadap kaum penindas/kolonial,” tuturnya.
Surat Al-Maun, lanjutnya, di tangan KH Ahmad Dahlan menjadi teks yg menyadarkan pentingnya trasformasi ekonomi, tradisi di tangah KH Hasyim Asyari benar-benar bisa dipadupadankan dgn kekuatan kultur lokal dan pd saat yg sama tak menghilangkan sikap kritis kepada Hindia-Belanda.
Berpihak pd semangat kebangsaan tersebut, Salahudin menilai, saat ni mahasiswa muslim yg berada di pergerakan seperti HMI, PMII, KAMMI, KMNU dan lain sebagainya perlu memiliki paradigma yg konkret dan realistis terkait realitas Indonesia saat ni dgn beberapa hal penting.
"Pertama, mahasiswa harus punya hubungan sinergis dgn warga sebagai basis perjuangan. Kedua, menumbuhkan spirit intelektualisme dan keberagamaan dgn kesadaran permasalahan territorial tetapi berpijak pd keindonesiaan dan keislaman yg universal,” paparnya.
Sementara ketiga, tambahnya, melihat multikulturalisme kewargaan sebagai realitas harian yg harus disikapi secara lapang, kritis terhadap problem-problem kehidupan dari arus liberalisme, neo-liberalisme, konservatisme, dan radikalisme agama untk dicarikan jawabannya; dan keempat, kritis menyikapi politik khilafah, Wahabisme dan yg sehaluan dgn itu karena memang tak mencerminkan sikap politik Islam sejati dan a-historis, bahkan sekadar menampakkan kebuntuan akal sehat. “Dan kelima, mahasiswa jg harus kritis pd soal ruang publik agar warga Indonesia tetap memiliki semangat hidup yg sehat dgn agena partisipasi dan deliberasi," jelasnya. (Yusuf M/Mahbib)
SUMBER: NU Online

0 Response to "Civic-Islam dan Pemikiran Kritis Mahasiswa"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *