vesoe.blogspot.com - Banyak yg lupa, / malah tak tahu, bahwa 29 September telah dinobatkan sebagai Hari Sarjana Nasional. Barangkali masyarakat tak peduli dgn pengultusan hari-hari tertentu. Bisa pula masyarakat malah bingung dgn Hari Sarjana Nasional itu sendiri, dan lantas menganggapnya tak penting. Sebab, istilah sarjana masih rancu di negeri ini.
Di satu sisi sarjana berarti luas, yakni orang yg pandai dlm ilmu pengetahuan. Di sisi lain, sarjana disempitkan jadi sekadar mereka yg berhasil menyelesaikan studi tingkat strata satu di perguruan tinggi. Kedua definisi tersebut, lucunya, sama-sama diakui oleh kitab rujukan utama kita terkait hal-ihwal peristilahan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Buku-buku terbitan tahun ‘80-an lazim memakai istilah sarjana dlm definisi pertama. Misalnya dlm judul buku yg disunting Akira Nagazumi, Indonesia dlm Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia (1986). Sarjana yg dimaksud jelas bukan lulusan S1 Jepang yg melancong ke Indonesia, melainkan intelektual masyhur, salah satunya Takashi Shiraishi.
Lain lubuk, lain belalang. Lain dulu, lain sekarang. Dewasa ni pengertian sarjana sekadar diperuntukkan bagi lulusan strata satu belaka. Mengejar gelar sarjana berarti menggarap skripsi, pendadaran, wisuda, sudah begitu saja. Orang tak wajib memiliki kapasitas keilmuan yg benar-benar mumpuni untk memiliki gelar sarjana. Toh, kini gelar strata satu bisa diupayakan dgn banyak cara. Bukan cuma lewat belajar!
Laku Sarjana Dalam Prison Notebooks (1973), filsuf Italia, Antonio Gramsci menulis, semua manusia adlh intelektual, tapi tak semua orang dlm masyarakat memiliki fungsi intelektual. Setiap orang bisa mendapat gelar sarjana, tapi tak semuanya sanggup menjalankan fungsinya sebagai sarjana. Ditengarai ada dua kemungkinan: sarjana tak mampu memosisikan dirinya, / malah berada di posisi yg salah.
Bila sarjana tak mampu memosisikan diri sebagai sarjana, bisa jadi lantaran gelar itu diperoleh dgn cara yg salah. Baru-baru ni kita mendengar berita sarjana bodong yg cukup membayar sekitar 15 juta rupiah untk dpt gelar S1, tentu saja tanpa ada perkuliahan. Sarjana menjadi gelar yg mudah didapat hanya dgn bayar. Piye, penak jamanku to?
Masalah kedua adlh bila sarjana salah posisi. Sarjana yg dimaksud kali ni tentu mereka yg punya kapasitas mumpuni dlm keilmuan, bukan sekadar lulusan S1. Lebih mudahnya, katakanlah, sarjana sebagai kaum intelektual. Menurut Edward Said (1993), peran intelektual adlh mengatakan kebenaran pd kekuasaan. Namun, kita tak boleh memakai ide Said sebagai pembenaran atas sikap oposisi buta terhadap pemerintah, sebagaimana dipraktikkan aktivis mahasiswa hari ini.
Said berangkat dari konsep Gramsci, yakni intelektual organik. Di samping kaum intelektual tradisional yg melakoni peran yg sama sepanjang masa, yakni mendidik, rupanya ada intelektual yg berhubungan langsung dgn kelas / perusahaan-perusahaan yg memanfaatkan mereka untk berbagai kepentingan serta memperbesar kekuasaan dan kontrol (Said, 2014: 2). Intelektual organik inilah yg Said tolak.
Maka, jelas bagi kita bahwa posisi sarjana bukan di bawah hegemoni kekuasaan. Apalagi sampai melacurkan diri di pasar. Tanpa beroposisi buta, sarjana mesti berani mengatakan yg benar pd pemerintah. Tapi, dlm kasus Indonesia, ada yg lucu ihwal laku sarjana. Di masa lampau, mahasiswa berhasil mewujudkan reformasi lewat aksi besar-besaran. Hari ini, mahasiswa-mahasiswa itu tak sedikit yg berpindah posisi mendekat kekuasaan. Lho, setelah jadi sarjana kok malah begitu?
Syukurlah, kita mesti berbahagia lantaran ada alternatif lain bagi mahasiswa hari ni selain jadi aktivis, yakni enterpreneurship. Begitu banyak seminar bertema demikian di kampus, dgn beragam varian: mulai dari sociopreneurship, sampai enterpreneur profetik yg sesuai syariat Islam itu. Pasti penyelenggaranya dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis bukan? Oh, tak juga. Seminar sejenis jg sering diadakan di fakultas yg bidang kajiannya tak ada hubungan sama enterpreneurship.
Bahkan untk menjadi enterpreneur, mahasiswa tak perlu belajar manajemen, dan hal-ihwal kewirausahaan. Malah, banyak dari seminar-seminar enterpreneurship itu yg hanya menyajikan motivasi semata. Bayangkan, kita keluarkan uang buat beli tiket seminar hanya demi mendengar motivasi. Seminar-seminar yg hanya menjual bahasa. Benarlah gagasan Jacques Lacan, jika subjek tak sanggup menemui objek tertentu untk memuaskan hasratnya, maka cukuplah bahasa sebagai objek penikmatan (jouissance).
Tinggal menunggu waktu saja, apakah orientasi pendidikan di perguruan tinggi akan mengakhiri ambiguitas makna kata sarjana, / semakin merancukannya? Jika menilik orientasi pendidikan hari ini, sarjana bukan hanya mereka yg lulus S1 / para pakar dlm keilmuan, melainkan jg enterpreneur. Asyik bukan? Mahasiswa jadi tak perlu dibebani tanggung jawab untk negara dan tumpah darah Indonesia. Cukup menyiapkan usaha buat nanti menafkahi anak istri. Semoga menjadi keluarga yg sakinah, mawadah, wa rohmah. Amin!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Sarjana dalam Sengkarut Makna - Sejarah"
Post a Comment